23 November 2012

Intoleransi: Kapan akan berakhir?


Ketika melihat jam dan tanggal, tahun 2012 sudah tinggal menghitung hari. Salah satu masalah terbesar yang dihadapi negara ini adalah mengatasi konflik agama. Tahun ini pun masih terdengar dari berita kekerasan antaragama yang terjadi. Anehnya, masalah ini tidak dapat diselesaikan semenjak reformasi besar-besaran yang terjadi 13 tahun yang lalu. Pada tahun ini, pemerintah mengusulkan sebuah program reformasi legislatif dan mengutamakan dua undang-undang yang dianggap mampu mencegah dan mengatasi konflik umat agama. Undang-undang pertama adalah Penanganan Konflik Sosial. Kedua, yang belum disahkan, adalah rancangan undang-undang Kerukunan Umat Beragama.

Usulan-usulan ini didasarkan pada asumsi sederhana bahwa konflik umat beragama terjadi karena sebelumnya memang tidak ada undang-undang yang mengaturnya. Pihak legislatif menyampaikan kebutuhan yang mendesak untuk sebuah regulasi yang lebih riil perihal hubungan umat beragama dan kriminalisasi serangan-serangan terhadap agama. Akan tetapi, mereka gagal untuk mengidentifikasi faktor-faktor politik, ekonomi, dan sosial yang lebih dalam dibalik intoleransi dan konflik agama. Undang-undang Penanganan Konflik Sosial memberi asumsi bahwa konflik sosial dan agama disebabkan oleh ketidakberdayaan polisi untuk mengatasi sebuah konflik, termasuk sengketa surat izin pembangunan tempat ibadah. Undang-undang yang baru ini memberi kuasa yang jauh lebih besar kepada polisi, mengizinkan pemerintah pusat dan lokal untuk menyatakan keadaan darurat selama 90 hari, dan memampukan pemerintah untuk memanggil “bantuan” pada angkatan bersenjata.

Undang-undang ini akan memunculkan masalah lama yaitu indikasi jelas kembalinya kuasa militer atas masyarakat, dan mengandalkan Komisi Penanganan Konflik Sosial untuk mengatasi suatu konflik. Komisi ini, walaupun belum didirikan, akan terdiri dari perwakilan kepolisian, angkatan bersenjata (darat, laut, udara), pemuka agama, dan pihak-pihak yang terlibat dalam suatu konflik. Komisi ini bisa menimbulkan masalah baru karena memiliki wewenang yang terlepas dari hukum, menyiratkan keputusan yang mereka jalankan tidak dapat diulas dan akibatnya, tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Usulan undang-undang yang kedua, Kerukunan Umat Beragama, sebenarnya juga gagal untuk menyampaikan faktor-faktor dan penyebab yang lebih mendalam akar permasalahan konflik beragama. Usulan undang-undang ini muncul akhir 2011 dan berusaha menjamah isu-isu yang cukup luas seperti pendidikan agama, seremoni pemakaman, perpindahan agama, dan perayaan hari-hari besar agama. Di dalamnya juga termuat sanksi-sanksi atas pencemaran agama.

Fakta bahwa rancangan undang-undang ini belum disahkan memberi pandangan kuat belum adanya kesepakan tentang cara-cara untuk menciptakan regulasi agama di Indonesia, atau sebarapa jauh urusan-urusan agama harus mendapatkan regulasi. Sementara secara umum diterima bahwa pemerintahan lokal mampu menangani kegiatan agama demi kebaikan kerukunan beragama, masih banyak perdebatan mengenai cara yang terbaik untuk meraih hal tersebut.

Sebagai garam dan terang dunia, orang Kristen yang ada di Indonesia harus ikut berpartisipasi untuk membawa negara ini meraih kesejahteraan yang selama ini didambakan. Banyak gejolak intoleransi yang tak kunjung usai di negara ini. Maka dari itu, sebagai bagian dari negara ini, kita harus tetap teguh dalam pemahaman dan ajaran guru mahaagung kita, Yesus Kristus. Satu faktor utama intoleransi adalah tidak adanya kasih yang benar-benar nyata di tengah-tengah negara ini. Ketika kita mengaku dengan sungguh percaya dan mengasihi Tuhan, kita juga mau tidak mau masuk dalam satu kontrak bahwa kita juga harus mengasihi sesama kita. Jangan sampai hilang kasih yang ada dalam kita, jika sudah hilang maka intoleransi akan selalu merajalela.
   

No comments:

Post a Comment