Ketika melihat jam dan tanggal, tahun 2012 sudah tinggal
menghitung hari. Salah satu masalah terbesar yang dihadapi negara ini adalah
mengatasi konflik agama. Tahun ini pun masih terdengar
dari berita kekerasan antaragama yang terjadi. Anehnya, masalah ini tidak dapat
diselesaikan semenjak reformasi besar-besaran yang terjadi 13 tahun yang lalu. Pada tahun ini, pemerintah
mengusulkan sebuah program reformasi legislatif dan mengutamakan dua undang-undang
yang dianggap mampu mencegah dan mengatasi konflik umat agama. Undang-undang
pertama adalah Penanganan Konflik Sosial. Kedua, yang belum disahkan, adalah
rancangan undang-undang Kerukunan Umat Beragama.
Usulan-usulan ini didasarkan pada asumsi sederhana bahwa
konflik umat beragama terjadi karena sebelumnya memang tidak ada undang-undang
yang mengaturnya. Pihak legislatif menyampaikan kebutuhan yang mendesak untuk
sebuah regulasi yang lebih riil perihal hubungan umat beragama dan
kriminalisasi serangan-serangan terhadap agama. Akan tetapi, mereka gagal untuk
mengidentifikasi faktor-faktor politik, ekonomi, dan sosial yang lebih dalam
dibalik intoleransi dan konflik agama. Undang-undang Penanganan Konflik Sosial
memberi asumsi bahwa konflik sosial dan agama disebabkan oleh ketidakberdayaan
polisi untuk mengatasi sebuah konflik, termasuk sengketa surat izin pembangunan
tempat ibadah. Undang-undang yang baru ini memberi kuasa yang jauh lebih besar
kepada polisi, mengizinkan pemerintah pusat dan lokal untuk menyatakan keadaan
darurat selama 90 hari, dan memampukan pemerintah untuk memanggil “bantuan” pada
angkatan bersenjata.
Undang-undang ini akan memunculkan masalah lama yaitu
indikasi jelas kembalinya kuasa militer atas masyarakat, dan mengandalkan
Komisi Penanganan Konflik Sosial untuk mengatasi suatu konflik. Komisi ini, walaupun
belum didirikan, akan terdiri dari perwakilan kepolisian, angkatan bersenjata (darat,
laut, udara), pemuka agama, dan pihak-pihak yang terlibat dalam suatu konflik.
Komisi ini bisa menimbulkan masalah baru karena memiliki wewenang yang terlepas
dari hukum, menyiratkan keputusan yang mereka jalankan tidak dapat diulas dan
akibatnya, tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Usulan undang-undang yang kedua, Kerukunan Umat Beragama,
sebenarnya juga gagal untuk menyampaikan faktor-faktor dan penyebab yang lebih
mendalam akar permasalahan konflik beragama. Usulan undang-undang ini muncul
akhir 2011 dan berusaha menjamah isu-isu yang cukup luas seperti pendidikan
agama, seremoni pemakaman, perpindahan agama, dan perayaan hari-hari besar
agama. Di dalamnya juga termuat sanksi-sanksi atas pencemaran agama.
Fakta bahwa rancangan undang-undang ini belum disahkan
memberi pandangan kuat belum adanya kesepakan tentang cara-cara untuk
menciptakan regulasi agama di Indonesia, atau sebarapa jauh urusan-urusan agama
harus mendapatkan regulasi. Sementara secara umum diterima bahwa pemerintahan
lokal mampu menangani kegiatan agama demi kebaikan kerukunan beragama, masih
banyak perdebatan mengenai cara yang terbaik untuk meraih hal tersebut.
Sebagai garam dan terang dunia, orang Kristen yang ada di
Indonesia harus ikut berpartisipasi untuk membawa negara ini meraih
kesejahteraan yang selama ini didambakan. Banyak gejolak intoleransi yang tak
kunjung usai di negara ini. Maka dari itu, sebagai bagian dari negara ini, kita
harus tetap teguh dalam pemahaman dan ajaran guru mahaagung kita, Yesus
Kristus. Satu faktor utama intoleransi adalah tidak adanya kasih yang
benar-benar nyata di tengah-tengah negara ini. Ketika kita mengaku dengan
sungguh percaya dan mengasihi Tuhan, kita juga mau tidak mau masuk dalam satu
kontrak bahwa kita juga harus mengasihi sesama kita. Jangan sampai hilang kasih
yang ada dalam kita, jika sudah hilang maka intoleransi akan selalu merajalela.
No comments:
Post a Comment