Seperti yang kita tahu, hukum keenam
dalam Taurat mengatakan “jangan membunuh”.
Akan tetapi, ada beberapa orang bertanya jika kita tidak boleh membunuh,
mengapa beberapa kisah dalam Alkitab (contoh Ulangan 13), Allah justru meminta
kita membunuh nabi atau guru palsu. Atau, ketika Musa sudah mendapat kesepuluh perintah Allah (yang memuat larangan jangan membunuh), mengapa Allah kemudian menyuruh Yosua membasmi sejumlah kota di Kanaan? Jika tidak cermat, kasus ini akan menjadikan
ayat-ayat Alkitab berkontradiksi satu dengan yang lain.
Kita, dalam kasus Ulangan 13, perlu melihat
ada sebuah kebijakan untuk menegakkan keadilan. Konsekuensi alami dosa jika
tidak dituntaskan adalah maut. Dapat kita cermati di sini, Allah menyingkapkan
tentang pengetahuan dasar orang-orang semacam mereka (guru atau nabi palsu)
tidak akan datang pada iman yang benar dan bertobat. Padahal, Allah dengan
sederhana menyatakan, “Aku tidak berkenan kepada kematian
orang fasik, melainkan Aku berkenan kepada pertobatan orang fasik itu dari
kelakuannya supaya ia hidup” (Yeh. 33:11). Bahkan Allah bersedia menunjukkan belas
kasihan pada para pembunuh, seperti raja Daud atau rasul Paulus, selama mereka
dengan tulus hati bertobat. Kiranya kita tidak lupa bahwa tidak seperti
manusia, Allah melihat hal-hal yang di dalam hati. Yesus membawa kasus
bunuh-membunuh lebih tinggi dalam Matius 5:21-22 ketika Dia memberi tahu jika
kita menyimpan rasa benci atau dendam dalam hati, hal itu sama saja dengan
membunuh. Pernahkah kita membenci seseorang? Saya pernah. Jika demikian, sesuai
tafsiran Yesus akan Taurat, Anda dan saya sudah dinyatakan bersalah melanggar
hukum Allah dan juga layak mati. Sebaliknya kita
sudah ditebus (dibeli dari kutuk Taurat dan murka Allah yang adil) dan
dipersatukan kembali serta dilahirkan kembali bersama Roh-Nya.
Dalam Alkitab, membunuh tidak selalu
merupakan pelanggaran Taurat hukum keenam. Hal ini bergantung pada dua hal: 1)
Pribadi yang berhak membunuh dan 2) situasi atau peristiwa yang mendatangkan
kematian tersebut.
Mari kita melihat siapa pribadi yang
berhak membunuh? Jawabannya adalah hanya Allah. Hanya Dia yang berhak mengizinkan,
menunjuk, atau menetapkan untuk mengakhiri hidup seseorang. Mengapa? Apa yang
membuat Allah berhak melakukan itu? Karena Dialah sang pencipta dan pemberi bios (kehidupan sementara). Tanpa
pribadi ini tidak ada kehidupan. Oleh sebab itu, hanya Dialah yang memiliki hak
atau otoritas untuk mengambil nyawa dan melakukan apa pun sesuai dengan
kehedak-Nya. Akan tetapi, sesuai dengan ayat yang di atas dari Yehezkiel, sesungguhnya
akan mendukakan hati Allah ketika harus ada orang yang dibunuh.
Tunggu sebentar…
bukankah kita juga menciptakan hal-hal juga. Dalam satu pengertian iya, tetapi
ketika kita menciptakan sesuatu, kita menggunakan material yang sebelumnya sudah
Dia ciptakan dan ciptaan kita itu tidak hidup. Akan tetapi, bukankah kita
memiliki hak untuk menghancurkannya jika ciptaan itu tidak berfungsi dengan
baik atau tidak sesuai dengan kehendak kita? Tentu saja boleh. Intinya adalah:
walaupun kita sadar ciptaan kita tidak hidup, ada pribadi yang sudah
menciptakan sesuatu dan sang pencipta memiliki kuasa sepenuhnya dari ciptaan
tersebut. Allah berkata, “Hak-Kulah dendam dan pembalasan” (Ul. 32:35). Hanya
ketika Allah melancarkan hak-Nya ini, dendam benar-benar dibenarkan sebab Allah tidak
menghakimi berdasarkan penampilan luar tetapi Dia tahu setiap maksud hati dan
hasil-hasil dari semua tindakan yang dilakukan pada masa mendatang.
Bagian kedua, ketika Allah
mengatakan jangan membunuh, hal itu tidak berarti dalam ruang lingkup yang
bersifat absolut, seperti yang akan kita simak bersama, karena kita terlebih
dulu perlu memahami hal yang Dia katakan, dan supaya kita memahami-Nya, kita harus
benar-benar memahami maksud Allah menggunakan istilah ‘membunuh’ dalam Taurat
dan arti kata tersebut yang muncul di tempat lain dalam Alkitab. Terdapat tiga
kata untuk menjelaskan makna membunuh dalam Perjanjian Lama. Oleh sebab itu,
untuk mengupas situasi atau kondisi di mana membunuh diizinkan, kita perlu
memahami dengan baik konteks dari tindakan itu dan kata yang digunakan dalam
Alkitab.
Kata Ibrani rasah atau ratsach
seperti yang digunakan dalam Taurat hukum keenam merujuk secara khusus pada
pembunuhan orang yang tidak bersalah, atau membunuh tanpa alasan yang dapat
dibenarkan. Akan tetapi, kata itu juga dapat digunakan untuk pembunuhan yang
dilakukan secara tidak sengaja, atau tanpa maksud yang jelas, seperti kasus
dalam Bilangan 15:11; Ulangan 4:42, 19:4; Yosua 20:3–5; dll. Dalam pemahaman
bahasa Ibrani, arti khusus dari kata membunuh ini selalu ditentukan oleh
konteksnya. Kita harus bisa melihatnya dengan pernyataan-pernyataan
disekitarnya.
Kata berikutnya adalah hemit yaitu pembunuhan yang tidak
disertai rasa bersalah atau penyesalan. Kata ini digunakan dalam kasus hukuman
mati, atau membunuh untuk membela diri, membunuh karena serangan binatang buas,
dll. Akar dari kata ini adalah emet
atau kebenaran. Kata ini dapat kita lihat dalam Imamat 20:4; Bilangan 35:19–21;
Ulangan 13:10 dan Ulangan 17:7.
Kata terakhir, ketika Allah
memerintahkan pembasmian atau penghancuran pribadi atau kelompok (seperti
perintah-Nya pada Yosua untuk menghancurkan lima kota di Kanaan), haraq yang digunakan (lihat Kej. 20:4;
Kel. 4:23, dll.). Bentuk pembunuhan yang ini secara khusus digunakan untuk
mencegah kejahatan yang akan datang dan muncul tanpa sepengetahuan kita. Dengan
membasmi orang-orang itu, Allah sebenarnya telah mencegah jutaan orang untuk
merasakan derita, penyakit, siksaan, dan kematian yang disebabkan oleh
orang-orang jahat tersebut. Hal yang perlu kita sadari adalah
tidak ada kejahatan dalam tindakan ini, bahkan tindakan ini sangat baik. Sesuai
firman Tuhan, pembunuhan semacam ini dibenarkan, terlepas seberapa besar
manusia memahami atau tidak implikasi penuh dari tindakan Allah.
Kesimpulan yang dapat disampaikan adalah: tidak ada kontradiksi dalam Alkitab, dan omong-omong, siapakah penentu awal moralitas
perihal membunuh (contoh kasus paling mengemuka hari-hari ini: Aborsi)? Manusia atau Allah? Kiranya kita selalu dituntun pada jalan
yang benar dan mendekatkan diri pada kebenaran Allah semata. Masalah moralitas
dan etika tidak mungkin terlepas dari kebenaran firman. Jika terlepas dari firman Allah dan diserahkan pada manusia, celakalah kita.
No comments:
Post a Comment